Banda Aceh – Ketua Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf, melalui juru bicaranya Muhammad Kahlil Gibran, menyambut penuh haru keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan empat pulau di Aceh Singkil Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek secara administratif masuk ke wilayah Provinsi Aceh.
Bagi Laskar Panglima Nanggroe, keputusan ini bukan sekadar pemulihan wilayah administratif. Ini adalah penegasan hak dan martabat Aceh yang selama ini kerap diabaikan.
Gibran menyebut, langkah Presiden Prabowo sebagai bentuk keberpihakan pada kebenaran sejarah, sekaligus membuka jalan harapan baru bagi rakyat Aceh yang setia menggenggam MoU Helsinki sebagai kompas perdamaian.
“Empat pulau itu bukan hanya gugusan tanah di tengah laut, tapi simbol harga diri Aceh. Kita berterima kasih kepada Presiden Prabowo dan juga kepada Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) yang terus konsisten memperjuangkan ini. Ini bukan soal jabatan, ini tentang mengembalikan kehormatan Aceh,” ujar Gibran dalam keterangan tertulis, Selasa (17/06/2025).
Keputusan tersebut diumumkan usai rapat terbatas yang digelar di Istana Kepresidenan Jakarta dan dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto secara daring.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, menyatakan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen resmi pemerintahan, keempat pulau tersebut secara administratif sah sebagai bagian dari Provinsi Aceh.
“Pemerintah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek secara administratif masuk ke wilayah Aceh,” kata Prasetyo di Kantor Presiden.
Gibran menyebut, perjuangan ini adalah awal dari rangkaian panjang yang belum selesai. Ia menyinggung bahwa semangat yang dibangun dalam MoU Helsinki tahun 2005 tak boleh dikhianati oleh sikap acuh tak acuh atau kekuasaan yang lupa pada akar sejarah.
“Kalau empat pulau bisa kembali, maka masa depan Aceh yang lebih berdaulat dan bermartabat juga mungkin dicapai. Hari ini kita bicara pulau, besok kita harus bicara bendera,” tegasnya.
Bagi Laskar Panglima Nanggroe, momentum ini juga menjadi seruan moral bagi pemerintah pusat agar tidak lagi mengulur waktu dalam merealisasikan poin-poin penting dalam perjanjian damai Helsinki—terutama soal pengibaran bendera Bintang Bulan sebagai simbol kultural dan politik Aceh.
“Kita ingin Bendera Bintang Bulan bisa berkibar di Serambi Mekkah, bukan sebagai ancaman, tapi sebagai bentuk penghormatan terhadap perjanjian yang ditandatangani dengan darah dan air mata. Kalau kita bisa duduk satu meja untuk bahas pulau, maka sudah waktunya kita duduk satu meja bahas simbol Aceh,” ucap Gibran penuh harap.
Di tengah euforia kembalinya empat pulau ke pangkuan Aceh, Laskar Panglima Nanggroe juga mengajak generasi muda untuk tidak apatis terhadap isu-isu strategis daerah.
Gibran menekankan pentingnya membangun kesadaran politik baru yang berbasis identitas, keadilan, dan masa depan bersama.
“Kita tidak ingin anak muda Aceh tumbuh jadi apatis. Kita ingin mereka bangga dengan tanah kelahirannya. Jangan sampai sejarah hanya jadi cerita lama yang tidak diwariskan secara utuh,” pungkasnya.
Hari ini, air laut di sekitar empat pulau itu terasa lebih tenang. Tapi semangat Aceh tidak sedang mereda. Ia sedang membangun ulang jalannya dengan damai, tapi juga dengan martabat. Karena bagi Aceh, kembali bukan sekadar ke peta, tapi ke dalam pelukan sejarah yang belum selesai ditulis.
Editor: DahlanReporter: Hidayat S