ACEH NOW – Utang-piutang sudah menjadi bagian dari kehidupan ekonomi masyarakat. Baik antara individu dengan bank maupun antarindividu, aktivitas ini dianggap wajar selama ada perjanjian yang jelas. Perjanjian biasanya memuat jumlah utang, tenor, bunga, hingga sanksi jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Namun, masalah muncul ketika si peminjam gagal melunasi utang sesuai kesepakatan. Banyak orang kemudian memilih melapor ke polisi, berharap si peminjam bisa diproses hukum. Pertanyaannya, apakah benar tidak membayar utang bisa dipidana? Apa batasan hukumnya? Simak penjelasan berikut supaya tidak salah langkah.
Utang-Piutang: Ranah Perdata atau Pidana?
Secara umum, utang-piutang termasuk dalam perjanjian perdata, bukan pidana. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
“Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.”
Artinya, jika seseorang tidak mampu membayar utangnya, maka penyelesaiannya melalui jalur perdata, misalnya dengan menggugat di pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi, bukan dengan melaporkannya ke polisi.
Dasar hukum lainnya ada di Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa perjanjian adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk saling mengikatkan diri. Sementara perjanjian utang-piutang secara khusus diatur dalam Pasal 1754 KUHPer, yang menyebutkan bahwa peminjam berkewajiban mengembalikan pinjaman sesuai perjanjian.
Syarat Sah Perjanjian Utang-Piutang
Agar perjanjian utang-piutang sah, harus memenuhi syarat dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:
1. Ada kesepakatan para pihak
2. Para pihak cakap hukum
3. Objek perjanjian jelas
4. Sebab perjanjian halal
Jika semua syarat ini terpenuhi dan salah satu pihak melanggar, maka pihak yang dirugikan berhak menggugat ke pengadilan perdata. Jadi, sepanjang tidak ada niat jahat dari awal, kasus ini tidak bisa langsung dipidana.
Kapan Utang-Piutang Bisa Jadi Pidana?
Meski pada dasarnya utang-piutang adalah masalah perdata, ada beberapa kasus yang bisa diproses secara pidana jika memenuhi unsur tertentu. Misalnya jika terbukti ada niat jahat (mens rea) sejak awal atau perbuatan melawan hukum (actus reus).
Dua pasal yang sering dipakai dalam kasus seperti ini adalah:
- Pasal 372 KUHP (Penggelapan) : ketika seseorang dengan sengaja menguasai uang atau barang yang bukan haknya.
- Pasal 378 KUHP (Penipuan) : ketika seseorang menggunakan tipu daya untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain.
Namun, penting dicatat bahwa tidak semua kegagalan bayar utang bisa langsung disebut penggelapan atau penipuan. Jika pelaku memang benar-benar tidak mampu bayar, kasusnya tetap masuk ranah perdata.
Ada satu contoh yang jelas masuk ranah pidana, yaitu penggunaan cek kosong saat membayar utang. Jika sejak awal si peminjam sudah tahu cek yang dia berikan tidak memiliki dana, hal itu dianggap sebagai penipuan.
Hal ini diperkuat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1036K/PID/1989, yang menyatakan bahwa penarikan cek tanpa dana dengan maksud menipu termasuk tindak pidana.
Jadi, jika Anda menerima pembayaran utang berupa cek kosong, Anda bisa melaporkannya sebagai dugaan penipuan, bukan sekadar wanprestasi.
Jadi, sebelum melapor ke polisi, pastikan dulu apakah unsur pidana memang terpenuhi. Dengan memahami aturan mainnya, Anda bisa melindungi hak Anda tanpa melanggar hak orang lain.***
Editor: RedaksiReporter: Syaiful AB