Sun City, Afrika Selatan — Dalam atmosfer serius namun penuh tensi, Pertemuan Sherpa G20 ke-3 di Sun City Resort, Provinsi North West, Afrika Selatan, digelar pada 25–27 Juni 2025. Forum yang dikawal ketat ini seolah menjadi arena “interogasi” bersama atas berbagai masalah besar dunia: keterlambatan SDGs, ketidakadilan keuangan global, hingga ketahanan pangan yang rawan “bobol”.
Sherpa G20 Afrika Selatan, Amb. Zane Dangor, tampil sebagai “penyidik utama” membuka pertemuan yang jadi bagian dari rangkaian Presidensi G20 Afrika Selatan tahun ini. Dalam sambutannya, ia tegas menegaskan: “Solidaritas, Kesetaraan, dan Keberlanjutan—tema utama Presidensi G20 Afrika Selatan—sangat penting untuk memperkuat multilateralisme dan mendorong reformasi dalam arsitektur keuangan global, pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), dan respons bersama terhadap tantangan geopolitik dan ekonomi saat ini.”
Enam sesi utama disusun rapih bak kronologi kasus: mulai dari kontribusi G20 untuk pembangunan global, pembahasan isu-isu geopolitik terkini, pengarahan Finance Track dan Task Forces, sesi bersama G20 Engagement Groups, evaluasi lewat G20@20 Review, hingga perumusan elemen penting Leaders’ Declaration 2025.
Dalam salah satu sesi Plenary, Co-Sous Sherpa G20 Indonesia, Ferry Ardiyanto, angkat bicara dengan nada tegas. Ia membeberkan “fakta-fakta lapangan” tentang perlunya penguatan integrasi ekonomi global di sektor strategis: pangan, energi, digitalisasi, hingga industri hijau.
“Sebagai negara maritim dan ekonomi berkembang, Indonesia menyerukan urgensi reformasi arsitektur keuangan global dan penguatan sistem perdagangan multilateral yang adil dan transparan dengan WTO sebagai pusatnya,” ujar Ferry Ardiyanto tanpa tedeng aling-aling.
Ia juga menyoroti pentingnya akses pembiayaan pembangunan yang setara untuk negara berkembang. Pernyataan ini seolah menjadi “barang bukti” kuat bahwa dunia masih belum adil terhadap mereka yang paling rentan.
Sementara itu, Menteri Hubungan Internasional dan Kerja Sama Afrika Selatan, Ronald Lamola, hadir pada sesi High-Level Dialogue dengan pesan yang menusuk. “G20 harus tetap menjadi forum utama kerja sama ekonomi internasional yang efektif dan inklusif di tengah meningkatnya tantangan global, termasuk konflik geopolitik, fragmentasi ekonomi, perubahan iklim, dan ketimpangan pembangunan,” katanya.
Ia menuntut multilateralisme yang lebih adil, percepatan SDGs, ketahanan pangan dan energi yang lebih kuat, serta inovasi digital yang inklusif. Para delegasi lain tak menyangkal bahwa SDGs saat ini banyak yang “tersandung” jauh dari target semula.
Bahkan, Presidensi Afrika Selatan juga akan mengajukan dokumen G20@20 Review, semacam “berkas kasus” yang mengevaluasi dua dekade kiprah G20. Indonesia, dalam pernyataan resminya, menyatakan mendukung penuh langkah ini. Ferry Ardiyanto menyebut: “Indonesia mendorong penguatan efektivitas G20 melalui sistem evaluasi yang lebih kuat, koordinasi lintas jalur kebijakan yang lebih baik, dan partisipasi yang lebih inklusif dalam merespons tantangan global masa kini seperti transisi energi, transformasi digital, dan reformasi kelembagaan global.”
Sebagai penutup, Ferry menegaskan lagi komitmen Indonesia pada tatanan internasional berbasis aturan dan multilateralisme. Ia menuntut agar Leaders’ Declaration nanti memuat aksi nyata untuk memperkuat ekonomi global, menstabilkan rantai pasok, memperkuat ketahanan pangan dan energi, mengelola mineral kritis secara adil, hingga meningkatkan konektivitas digital global.
Di balik agenda besar itu, Indonesia juga menjalankan diplomasi bilateral dengan tiga negara: Prancis, Meksiko, dan Inggris. Dalam pertemuan tertutup itu, mereka membicarakan kerja sama lanjutan di tingkat bilateral dan multilateral, memastikan tidak ada “skenario gelap” yang menghambat hubungan ke depan.***
Editor: RedaksiReporter: Redaksi

 











