ACEH NOW – Selama ini, banyak orang berpikir bahwa setiap pelaku kejahatan harus dihukum berat, bahkan dipenjara. Padahal, dalam beberapa kasus, cara itu belum tentu membuat korban benar-benar pulih atau masalah selesai dengan baik. Nah, di sinilah konsep Restorative Justice (RJ) hadir sebagai solusi yang lebih manusiawi dan damai.
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang fokus pada pemulihan kerugian korban, pertanggungjawaban pelaku, dan rekonsiliasi antar pihak. Prinsip ini berbeda dari hukum konvensional yang hanya menitikberatkan pada hukuman untuk pelaku.
Apa Itu Restorative Justice?
Restorative Justice bertujuan memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat. Jadi, RJ tidak hanya tentang “siapa salah, siapa dihukum”, melainkan bagaimana semua pihak bisa kembali hidup damai setelah masalah terjadi.
Dalam proses RJ, korban diberi kesempatan menyampaikan perasaan, kerugian, dan kebutuhan mereka. Sementara itu, pelaku didorong untuk mengakui perbuatannya, meminta maaf, dan berusaha memperbaiki kerugian yang sudah timbul. Proses ini sering difasilitasi melalui mediasi atau dialog terbuka yang dipandu oleh mediator.
Prinsip Penting dalam RJ
Konsep RJ berdiri di atas beberapa prinsip utama yang bikin proses ini beda dan terasa adil bagi semua pihak:
- Kerugian materiil dan non-materiil korban diutamakan untuk dipulihkan. Korban juga diberi ruang untuk didengar dan dihargai.
- Pelaku tidak sekadar dihukum, tapi benar-benar diminta bertanggung jawab atas perbuatannya dan memperbaiki kerusakan yang sudah dia sebabkan.
- Proses RJ melibatkan banyak pihak, seperti keluarga, tetangga, bahkan tokoh masyarakat. Semua bisa ikut memberi masukan demi hasil yang damai.
- Karena pelaku merasa ikut bertanggung jawab dan mendapatkan kesempatan memperbaiki diri, diharapkan dia tidak akan mengulangi perbuatannya.
Di Mana RJ Bisa Diterapkan?
RJ biasanya diterapkan pada kasus tindak pidana ringan, seperti pencurian kecil, penganiayaan ringan, atau pelanggaran lalu lintas. Selain itu, RJ juga jadi andalan saat menangani kasus yang melibatkan anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban. Kenapa? Karena RJ lebih membangun dan tidak merusak masa depan mereka.
Salah satu contoh nyata penerapan RJ adalah mediasi penal, di mana korban dan pelaku bertemu, berdialog, lalu menyepakati penyelesaian di luar pengadilan. Dalam proses ini, peran polisi, jaksa, atau hakim lebih sebagai fasilitator atau mediator, bukan semata-mata “pemberi hukuman”.
Apa Dasar Hukumnya RJ?
Mungkin kamu bertanya, “Emang boleh begitu? Kan hukum di Indonesia ketat.” Jawabannya: boleh banget, karena sudah ada aturan yang mendukung.
Beberapa dasar hukum RJ di Indonesia antara lain:
- UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
- Perma No. 1 Tahun 2024, yang jadi panduan hakim untuk mengadili dengan pendekatan RJ.
- Perja No. 15 Tahun 2020, untuk penghentian penuntutan kasus dengan prinsip RJ.
- Perpol No. 8 Tahun 2021, yang mengatur cara polisi menangani kasus dengan RJ.
- RUU KUHP, di mana Pasal 54 bahkan mempertimbangkan pemaafan dari korban sebagai bagian dari pemidanaan.
Meski terdengar ideal, penerapan RJ di Indonesia masih punya tantangan. Salah satunya, belum ada undang-undang khusus yang mengatur RJ secara menyeluruh. Selain itu, pemahaman penegak hukum tentang RJ masih berbeda-beda. Banyak juga masyarakat yang belum paham manfaat RJ, bahkan menganggapnya sebagai bentuk “pembiaran” terhadap pelaku.
Keterbatasan mediator terlatih dan fasilitas yang memadai juga jadi kendala. Padahal, mediator yang baik adalah kunci suksesnya proses RJ.
Jadi, mulai sekarang kita bisa melihat bahwa keadilan itu gak melulu soal penjara. Restorative Justice membuktikan bahwa menyelesaikan masalah hukum dengan cara damai itu mungkin, adil, dan justru lebih bermanfaat bagi semua pihak.***
Editor: RedaksiReporter: Syaiful AB