Banda Aceh — Forum Peduli Rakyat Aceh (FPRA) secara tegas menyatakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Daerah (RUU BUMD) yang tengah digodok oleh Kementerian Dalam Negeri. Dalam siaran pers resmi yang disampaikan Ketua Umum FPRA, Muammar, disebutkan bahwa RUU ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip otonomi daerah secara nasional, tetapi juga melanggar kekhususan Aceh yang dijamin secara hukum dan sejarah.
“RUU BUMD membuka celah kontrol pusat yang berlebihan terhadap perusahaan milik daerah. Ini bukan reformasi, tapi regresi birokratik. Terutama untuk Aceh, yang sudah memiliki UU Pemerintahan sendiri, RUU ini adalah bentuk penyamaan yang melanggar akal sehat hukum,” tegas Muammar dalam pernyataan sikap FPRA di Banda Aceh, Selasa (22/7).
FPRA menyoroti bahwa secara nasional, RUU ini justru menciptakan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain:
OJK sudah mengawasi BUMD sektor keuangan seperti bank daerah, Kementerian BUMN menaungi kerjasama usaha antar-BUMD dan BUMN, Kemenkeu memiliki domain dalam penyertaan modal dan dana transfer.
Namun RUU BUMD justru menempatkan Kemendagri sebagai pengendali utama dari pengawasan hingga pengangkatan direksi.
“Itu sudah keluar dari tupoksi Kemendagri sebagai pembina pemerintahan daerah, bukan pembina korporasi. Negara ini tidak butuh birokrasi lebih banyak, tapi transparansi dan akuntabilitas yang lebih dalam,” ujar Muammar.
Melanggar Lex Specialis
Dalam konteks Aceh, FPRA menyebut bahwa RUU BUMD secara langsung melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pasal 166–172 UUPA memberi wewenang penuh kepada Pemerintah Aceh untuk membina dan mengelola BUMD. Sementara itu pada pasal 269 UUPA menyatakan bahwa peraturan nasional yang bertentangan dengan UUPA tidak berlaku di Aceh.
“Kalau pusat ingin menghormati damai Helsinki, maka jangan bikin undang-undang nasional yang menabrak undang-undang kekhususan Aceh. Kalau tidak ada pasal pengecualian Aceh dalam RUU BUMD, maka itu adalah bentuk pelanggaran terhadap kehormatan politik Aceh sekaligus kemunafikan pusat (Jakarta),” lanjut Muammar.
1. Meninjau ulang logika regulasi dalam RUU BUMD, yang berpotensi mematikan profesionalisme BUMD melalui birokratisasi.
2. Mencantumkan pasal pengecualian untuk Aceh sesuai prinsip lex specialis UUPA.
3. Melibatkan daerah-daerah khusus dan akademisi independen dalam proses penyusunan.
FPRA juga memperingatkan bahwa RUU ini tidak hanya soal hukum, tapi menyangkut masa depan ekonomi daerah.
“Aceh memiliki sejarah panjang kemandirian ekonomi dan legitimasi sosial berbasis ulama dan adat. RUU BUMD adalah ancaman terhadap seluruh struktur itu,” ucap Muammar.
Rencana Tito akan mengamputasi kekhususan Aceh akan berdampak terbukanya luka.lama Aceh sekaligus akan menumbuhkan kembali gerakan perlawanan.
“Ini bukan mengancam, tetapi kami sudah muak dengan sikap pusat yang kerap menodai perjanjian suci MoU Helsinki”, tegas Muammar.
Karena FPRA mendesak Prabowo agar mencopot Tito Karnavian yang selalu membuat gaduh dan memiliki niat merusak kedamaian di Aceh.
“Tito, beberapa waktu lalu membuat kegaduhan dengan kesalahan terkait 4 pulau di wilayah Aceh sekarang ingin mencaplok BUMD melalui RUU BUMD”, Presiden Prabowo sebaiknya segera mengevaluasi kabinetnya, terutama Tito Karnavian”, lanjut Muammar.
Terakhir, FPRA menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh, Ormas, ulama, akademisi, mahasiswa, dan aktivis masyarakat sipil untuk bersiap mengawal penolakan ini baik secara politik maupun konstitusional.
“Jika perlu, kami akan menggugat RUU ini ke Mahkamah Konstitusi. Kami tidak akan diam ketika hak kami dirampas dengan dalih regulasi,” tutup Muammar.
Editor: Redaksi