Aceh, tanah yang pernah berdiri sebagai kerajaan merdeka dan menjadi tonggak awal kemerdekaan Indonesia, kini terus hidup dalam bayang-bayang kekuasaan Medan, ibukota provinsi tetangganya, Sumatera Utara. Ketimpangan ini bukan perkara baru. Sejak masa awal kemerdekaan, hingga bergolak dalam gejolak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), bahkan dalam era otonomi khusus hari ini, Aceh terus menjadi ladang eksploitasi ekonomi dan politik dari arah timur.
Medan Sebagai Poros Keuntungan
Hampir semua sektor ekonomi Aceh memiliki alur yang bermuara ke Medan. Gas dari Arun disalurkan ke sana. Minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang dihasilkan dari kebun-kebun luas di Aceh Timur dan Barat diangkut siang malam ke pelabuhan Belawan. Bahkan, komoditas unggulan seperti kopi Gayo pun diekspor lewat jalur Medan, bukan melalui pelabuhan di Aceh. Kantor para eksportir besar pun beralamat di Medan, bukan di Takengon, pusat produksi kopi terbaik itu.
Tak hanya SDA, aspek kebutuhan rakyat pun menunjukkan ketergantungan yang akut. Telur, gula, minyak goreng, sayur-mayur, dan bahkan alat pertanian—semua didatangkan dari Medan. Truk-truk logistik seakan tak berhenti bergerak dari timur ke barat, sementara dari Aceh hanya sedikit yang dikirim keluar: batu nisan dari Bireuen dan emping melinjo dari Pidie. Bahkan hampir semua kebutuhan hidup rakyat Aceh—dari sabun mandi hingga suku cadang kendaraan—bermuara ke gudang-gudang pemasok di Medan.
Sektor perbankan pun tak luput. Saat Aceh menerapkan sistem keuangan syariah, pusat malah menekan agar tetap terkoneksi dengan sistem perbankan nasional yang berpusat di Medan. Aceh tak diberi ruang penuh untuk membangun kemandiriannya sendiri. Bahkan sistem layanan BSI dan jaringan bank syariah nasional justru membuat rakyat harus tetap menggantungkan diri ke kantor pusat di Medan. Pusat seolah membiarkan Aceh sibuk dengan nama “syariah”, tapi tali kendalinya tetap ditarik dari Medan dan Jakarta.
Kolonialisme Gaya Baru
Fenomena ini bukan sekadar soal distribusi barang. Ia adalah cermin dari kolonialisme ekonomi yang dikemas dalam skema modern. Investasi yang masuk ke Aceh dikendalikan dari luar. Kantor-kantor perusahaan besar yang mengeruk hasil bumi Aceh, hampir semuanya berada di luar Aceh. Uangnya tidak berputar di tanah Serambi Mekkah. Laba perusahaan dibukukan di Medan, pajaknya dibayar ke Jakarta. Sistem ini membuat Aceh tak lebih dari ladang penghasil bahan mentah bagi elite bisnis luar.
Pelabuhan-pelabuhan di Aceh seperti Malahayati, Krueng Geukueh, dan Calang, lebih sering kosong atau dipakai setengah hati. Padahal seharusnya ekspor-impor Aceh bisa berjalan langsung dari sana. Tapi jalur logistik dan sistem perizinan yang disetel pusat membuat semuanya mengalir ke Sumatera Utara. Bahkan kontainer yang memuat kopi ekspor dari Takengon pun harus lewat pelabuhan Belawan. Ironis, padahal kopi itu tumbuh di tanah Aceh, dipetik oleh tangan orang Aceh, tapi keuntungan larinya ke perusahaan di Medan.
Wilayah Dirampas, Negara Diam
Empat pulau di kawasan Aceh Singkil diam-diam “dirampok” dan dialihkan ke Sumut melalui mekanisme yang mencurigakan di Kemendagri. Tak mengherankan bila Menteri Dalam Negeri saat ini, Tito Karnavian, dianggap punya konflik kepentingan, mengingat kedekatannya dengan elit kekuasaan Sumut. Ia adalah bagian dari sistem yang bukan saja tak berpihak pada Aceh, tapi malah membiarkan perampasan terjadi di atas meja birokrasi. Menteri yang dikenal licik dan keras ini, dalam pandangan sebagian kalangan Aceh, tidak pernah berniat memfasilitasi keadilan wilayah.
Di masa lalu, warga Aceh harus berangkat haji dari Medan. Rujukan medis pun diarahkan ke rumah sakit Adam Malik atau Colombia Asia. Untuk urusan pelayanan publik, Aceh nyaris seperti kabupaten bawahan Sumut. Bahkan saat ini, saat layanan digital dan sistem informasi bisa dipusatkan dari mana saja, berbagai mekanisme perbankan dan administratif tetap didikte dari luar. Ini bukan hanya keterbelakangan, tapi penghambatan disengaja.
Luka yang Tak Sembuh
Ketimpangan ini bukan tanpa perlawanan. Sejak masa kolonial hingga DI/TII, rakyat Aceh telah mencatat sejarah panjang perlawanan terhadap dominasi pusat. Tapi setiap kali bangkit, Aceh disambut dengan represi. Luka-luka masa lalu belum sembuh, kini ditambah lagi dengan perasaan dianaktirikan secara ekonomi. Di masa DI/TII, gerakan Aceh bukan hanya soal ideologi Islam, tapi juga protes terhadap dominasi Jakarta dan Medan atas ekonomi Aceh.
Banyak yang percaya, pusat dan para oligarki tak pernah benar-benar menginginkan Aceh bangkit. Karena jika Aceh berdikari, maka kontrol atas SDA dan jalur ekonomi akan terputus. Maka Aceh dijadikan semacam laboratorium: tempat menguji senjata, eksperimen militer, serta lahan ujicoba berbagai program nasional, dari penanggulangan terorisme hingga reformasi birokrasi. Tapi ujung-ujungnya, semua proyek itu menimbulkan trauma baru dan memperpanjang ketergantungan. Ketika rakyat bersuara, yang datang adalah intel dan tentara.
Cerita Relawan yang Tertikam
Seorang mantan relawan Jokowi asal Aceh mengungkapkan pengalamannya di Jakarta. Ia mengatakan bahwa kebencian kelompok pendukung Jokowi-Ahok terhadap orang Aceh sangat tinggi. “Kami selalu disindir soal syariat Islam. Kami dianggap miskin, tertinggal. Padahal daerah mereka juga belum tentu sejahtera. Mereka hanya menang karena dekat pusat kekuasaan,” ujarnya getir.
Ia pernah menjadi bagian dari tim media relawan di Jakarta, menyebar konten positif dan menyuarakan kampanye anti-hoaks. Namun, di balik layar, ia mendengar candaan-candaan kasar tentang Aceh, mulai dari tudingan sarang radikalisme, hingga sindiran bahwa Aceh hidup dari belas kasihan pusat. Pengalaman itu membuatnya meninggalkan tim dan kembali ke kampung halaman. “Aku pikir aku berjuang untuk demokrasi, ternyata mereka hanya butuh kami untuk legitimasi, bukan untuk didengar,” kenangnya dengan kecewa.
Diskriminasi ini bukan hanya soal politik, tapi juga soal eksistensi. Rakyat Aceh ditertawakan karena memilih sistem keuangan syariah, dilecehkan karena mempertahankan identitas Islam, dan selalu dijadikan sasaran sinisme media-media nasional. Mereka yang vokal akan dicap radikal. Mereka yang kritis dibungkam dengan kriminalisasi. Bahkan buzzer pun dikerahkan untuk menyerang siapa saja yang berani bersuara.
Aceh Dijaga Tapi Diabaikan
Ironi terbesar adalah bahwa Aceh dijaga begitu ketat, seolah rawan sekali. Tapi dalam hal investasi, pelayanan publik, dan pembangunan, Aceh seperti anak tiri yang tak pernah disapa. Bandingkan berapa banyak anggaran dan perhatian pusat untuk pembangunan Sumut dengan Aceh. Padahal Aceh sudah menyerahkan segalanya—dari gas, kelapa sawit, hingga darah para pejuangnya.
Aceh adalah tanah yang sangat strategis. Tapi pusat lebih suka menjadikannya pos militer, bukan sentra perdagangan. Peluang ekonomi disabotase, pelabuhan dibiarkan sekarat, dan jalur ekspor diarahkan ke luar. Bahkan untuk menanam modal pun investor lokal Aceh harus melapor dan berurusan dengan birokrasi yang dikendalikan orang-orang Medan.
Aceh Tak Akan Tunduk
Meski kekuasaan pusat berupaya menekan, rakyat Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya. Terbukti dalam pemilu terakhir, Jokowi dan anaknya tak pernah menang di Aceh. Ini bukan sekadar pilihan politik, melainkan pernyataan sikap. Aceh tidak ingin menjadi boneka proyek nasional yang tidak berpihak pada kesejahteraan lokal.
Rakyat Aceh masih menunggu keadilan. Tapi bila terus-menerus diinjak, bukan mustahil bara perlawanan kembali menyala. Dalam bayang-bayang Medan, Aceh bukan hanya tertindas, tapi juga sedang dihancurkan pelan-pelan dengan cara yang nyaris tak terdengar. Itulah bentuk penjajahan baru: sunyi, rapi, dan sistematis.
Kini saatnya rakyat Aceh menyadari satu hal: kemandirian tak akan datang dari luar. Ia harus dibangun dari dalam. Dari kopi yang dipasarkan sendiri. Dari pelabuhan yang dikelola sendiri. Dari bank yang tumbuh bersama rakyat. Dan dari sikap tegas terhadap siapa saja yang ingin menjadikan Aceh sebagai ladang rampokan.
Medan boleh besar. Tapi Aceh punya harga diri yang tak pernah bisa dibeli.
Editor: Redaksi