Home / Politik

Selasa, 17 Juni 2025 - 00:34 WIB

YARA Kirim S.O.S ke Prabowo: Empat Pulau Aceh Dirampas, Migas Dilibas

Redaksi

Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin. Foto: Dok. Pribadi/Acehnow

Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin. Foto: Dok. Pribadi/Acehnow

Banda Aceh – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, menyampaikan sinyal darurat (S.O.S) kepada Presiden Prabowo Subianto, Senin (16/6/2025). Dalam pernyataannya, ia menyoroti dua persoalan krusial yang dinilai mencederai kedaulatan dan perdamaian Aceh.

Pertama, soal Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melalui SK Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil—yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Safaruddin menilai langkah tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

“Kepada Presiden Prabowo kami menyampaikan dua hal yang urgent dahulu saat ini. Pertama, mengenai perampasan Pulau di Aceh yang berpotensi merusak perdamaian di Aceh dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, dengan menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil, yaitu Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang kini masuk ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Saat ini, gejolak terjadi di Aceh, dan jika dibiarkan maka akan memadamkan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintahan pusat yang pernah padam,” ungkap Safar.

Baca Juga :  Bersatu dalam Marwah: PBN Aceh Berdiri Bersama Mualem Pertahankan Wilayah Ujung Barat Nusantara

Ia mengingatkan bahwa perdamaian Aceh yang terbangun sejak MoU Helsinki 2005 merupakan hasil perjuangan panjang dan tidak boleh dirusak oleh keputusan sepihak pemerintah pusat. Apalagi, klaim bahwa empat pulau tersebut milik Sumatera Utara disebutnya tidak memiliki dasar historis, politis, maupun yuridis yang kuat.

“Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis, politis dan yuridis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu bukan alasan menjadikannya bagian dari Sumatera Utara, wilayah Aceh telah disepakati dalam MoU Helsinki yang sebelumnya tahun 1992 juga menyepakati hal yang sama oleh Gubernur Sumatera Utara dan Aceh,” terang Safar.

YARA juga menyoroti adanya indikasi bahwa keberadaan potensi migas di wilayah pulau-pulau tersebut menjadi alasan tersembunyi di balik pengalihan wilayah ke Sumut. Jika benar, hal ini menurut Safar sangat berbahaya bagi kelangsungan perdamaian.

“Potensi migas di empat pulau Aceh yang dirampas untuk Sumut perlu menjadi perhatian serius, jangan sampai karena potensi migas ini kemudian ada orang yang berniat jahat untuk keuntungan pribadi dengan merusak perdamaian di Aceh,” kata Safar.

Baca Juga :  Lumrah Dalam Olah Raga Menggunakan Celana Pendek, Seperti Sepak Bola, Begitu Juga Lomba Lari

Pengelolaan Migas Belum Jelas, BPMA Masih Tersingkir masalah kedua yang disampaikan YARA kepada Presiden adalah soal belum tuntasnya pengalihan pengelolaan lapangan migas di Kuala Simpang dan Rantau, Aceh Timur. Padahal, sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015, pengelolaan seharusnya sudah berada di bawah kewenangan Aceh melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Namun hingga kini, pengelolaan masih dilakukan oleh Pertamina dan SKK Migas. Safar menyebut hal ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan Kementerian ESDM.

“Potensi migas di Aceh yang masih belum dialihkan ke BPMA merupakan bagian dari tindakan yang mengkhianati perdamaian Aceh dengan berlindung di balik aturan-aturan yang seolah ‘legal’,” tegasnya.

Menurut Safar, keterlambatan pengalihan pengelolaan ini juga berkaitan dengan proses penunjukan Kepala BPMA yang dinilai dipaksakan oleh Safrizal saat menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh. Padahal, sudah ada permintaan resmi dari Komisi Pengawas BPMA, Muzakir Manaf, serta dari anggota DPR RI, Nasir Djamil, untuk menunda seleksi kepala BPMA hingga Gubernur definitif dilantik.

Baca Juga :  Laskar Panglima Nanggroe Harap Husnan Harun Pimpin Bappeda Aceh: Dorong Perencanaan Pembangunan yang Berkelanjutan

“Dengan proses yang telah kami kawal sejak lima tahun lalu, seharusnya Blok Migas di Aceh Tamiang dan Timur sudah dibawah pengelolaan BPMA. Hingga saat ini masih dibawah SKK Migas dengan Pertamina,” ujar Safar.

Ia menyayangkan sikap Safrizal yang dianggap mengabaikan aspirasi masyarakat Aceh, seperti halnya saat pengalihan empat pulau ke wilayah Sumatera Utara yang juga melibatkan dirinya sebagai Dirjen Bina Adwil Kemendagri.

Harapan kepada Presiden Prabowo

Di akhir pernyataannya, Safaruddin meminta Presiden Prabowo untuk mengambil keputusan strategis dan adil terkait dua persoalan besar yang sedang dihadapi Aceh. Menurutnya, kedua isu tersebut berkaitan erat dengan keberlangsungan perdamaian yang telah dirawat hampir dua dekade.

“Safar meminta kepada Presiden Probowo dapat juga menyelesaikan permasalahan migas yang sampai saat ini tak kunjung usai pasca PP 23/2015,” tutup Safar usai penutupan acara penyerahan sertifikat Paralegal di Kantor Bupati Pidie.

Editor: DahlanReporter: Hidayat S

Share :

Baca Juga

Politik

Aiyub Ditunjuk, Sulaiman Manaf Mendukung

Daerah

Wali Nanggroe Tolak Penambahan Batalyon Bertentangan dengan Perjanjian Damai RI-GAM

Pemerintah Aceh

Mualem Dukung Kebijakan Swasembada Pangan Presiden Prabowo

Politik

Aiyub Abbas Sekjen DPP PA, Tgk Muharuddin Harap Perkuat Internal dan Komunikasi Pimpinan Lintas Parpol

Politik

Laskar Panglima Nanggroe Tanggapi Pembangunan Batalyon: Aceh Bukan Wilayah Darurat Militer

Politik

Prabowo Cabut 4 Izin Tambang, DPR: Perusahaan Wajib Ikuti Regulasi

Parlementarial

DPR Aceh Tetapkan 12 Raqan Prioritas 2025, Fokus pada Isu Strategis dan Kebutuhan Masyarakat

Politik

Bersatu dalam Marwah: PBN Aceh Berdiri Bersama Mualem Pertahankan Wilayah Ujung Barat Nusantara