Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo meminta DPR bersama pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU Kesejahteraan Lansia), mengingat realitas sosial saat ini telah jauh berubah.
“UU yang telah berumur 27 tahun itu dibuat ketika struktur keluarga masih tradisional dan ketergantungan pada solidaritas komunitas masih tinggi. Saat ini realitas sudah berubah,” kata Bambang Soesatyo atau yang akrab disapa Bamsoet, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (7/7).
Pernyataan tersebut disampaikannya usai menerima pengurus Badan Perlindungan Lanjut Usia Indonesia (BP Lansia) di Jakarta pada hari yang sama.
Bamsoet menyoroti kondisi lansia yang semakin terpinggirkan akibat urbanisasi, mahalnya biaya hidup, melemahnya fungsi keluarga sebagai institusi perawatan, hingga perkembangan teknologi yang kerap mengeksklusi kelompok usia tua.
Ia mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk lansia di Indonesia pada 2023 sudah mencapai 11,75% dari total populasi atau sekitar 32,5 juta jiwa. Jumlah ini diperkirakan terus naik hingga menyentuh 20% pada tahun 2045.
Menurutnya, UU Kesejahteraan Lansia saat ini hanya menyebut hak-hak lansia atas penghormatan, perlindungan, dan pelayanan sosial tanpa menyertakan mekanisme implementasi yang jelas.
“Tidak ada pasal yang secara rinci mengatur standar layanan kesehatan lansia, bantuan perawatan jangka panjang, perlindungan dari kekerasan berbasis usia, atau insentif bagi keluarga yang merawat lansia di rumah,” ujarnya.
Mantan Ketua MPR dan DPR itu menilai ketiadaan jaminan hukum yang kuat dapat membawa dampak serius. Ia menyebut data Komnas Lansia dan laporan LPSK menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan dan penelantaran lansia, yang sebagian besar terjadi di lingkup rumah tangga.
“Banyak dari mereka mengalami kekerasan ekonomi, dipaksa menyerahkan aset atau pensiun, atau sekadar diabaikan kebutuhan dasarnya. Karena minim aturan hukum serta tidak adanya mekanisme aduan yang ramah lansia, sebagian besar kasus itu tidak pernah sampai ke proses hukum,” jelasnya.
Bamsoet juga menyoroti fakta bahwa mayoritas lansia Indonesia dulunya bekerja di sektor informal, sehingga saat memasuki usia pensiun mereka tidak memiliki jaminan hari tua atau dana pensiun, dan terpaksa bergantung pada anak atau komunitas.
“Bahkan, banyak yang harus tetap bekerja di usia tua, jadi penjaga warung, pemulung, atau buruh harian hanya untuk bertahan hidup,” ucap Bamsoet.
Ia kemudian mencontohkan beberapa negara yang telah memiliki kebijakan lebih maju, seperti Jepang dengan Long-Term Care Insurance (LTCI) untuk layanan perawatan jangka panjang berbasis komunitas, Korea Selatan dengan sistem e-health untuk mempermudah akses layanan kesehatan, dan Vietnam dengan program home care berbasis desa yang sudah diperkuat sejak 2018.
“Indonesia tidak bisa terus tertinggal. Rencana revisi UU Kesejahteraan Lansia yang sudah berkali-kali diwacanakan sampai sekarang belum terlaksana. Padahal, regulasi baru yang responsif terhadap perkembangan zaman sangat mendesak,” tegasnya.
Bamsoet menekankan bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang yang tidak hanya menyebut hak-hak lansia, tetapi juga menjamin pelaksanaannya melalui skema pembiayaan yang realistis, integrasi layanan lintas sektor, serta perlindungan hukum yang progresif.
“Kita memerlukan undang-undang yang lebih maju, yang tidak hanya normatif tetapi juga implementatif,” pungkasnya.
Dalam pertemuan itu, hadir pula jajaran pengurus BP Lansia, antara lain Ketua Umum Karmen Siregar, Wakil Ketua Umum Robinson Napitupulu, Wakil Sekretaris Jenderal Monang Sirumapea, Bendahara Umum Menara Surya, serta dua ketua bidang, Anton Hutabarat dan Imam Samudra. [antara]
Editor: RedaksiReporter: RedaksiSumber: https://www.antaranews.com/berita/4950409/bamsoet-uu-kesejahteraan-lansia-perlu-direvisi-karena-zaman-berubah