Banda Aceh — Kaukus Peduli Aceh (KPA) menyoroti kebijakan Pemerintah Aceh yang dinilai lebih berpihak pada kepentingan korporasi tambang ketimbang rakyat. Koordinator KPA, Muhammad Hasbar Kuba, menegaskan bahwa investasi memang penting, namun tidak boleh membuat masyarakat lokal menjadi korban di tanah sendiri.
“Pemerintah Aceh terlalu gemar menggulirkan karpet merah untuk korporasi, tapi membiarkan jalan berdebu dilalui oleh rakyat,” ungkap Hasbar, Senin (4/8/2025).
Hasbar mencontohkan konflik tambang PT LMR di Nagan Raya, di mana masyarakat adat dan petani terancam kehilangan ruang hidup akibat aktivitas tambang yang mendapat restu pemerintah. Ia menyebut warga yang menolak justru menghadapi intimidasi hukum. Kasus serupa juga terjadi di PT PSU Aceh Selatan dan sejumlah daerah lain.
Menurutnya, hingga kini penambang rakyat di Aceh masih terus dicap ilegal karena Pemerintah Aceh belum menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai amanah UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Padahal, kedua aturan tersebut memberi kewenangan penuh kepada Aceh untuk mengatur sumber daya alam secara adil.
KPA mendesak Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk menunda sementara pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi korporasi hingga Qanun Pertambangan Rakyat disahkan dan WPR ditetapkan.
“Jika SKPA tidak berpihak kepada rakyat, dan sengaja memperlambat WPR namun begitu gemar mengobral WIUP kepada korporasi, maka kita berharap Mualem harus bertindak tegas. Jangan segan-segan copot pejabat SKPA tersebut,” tegas Hasbar.
KPA juga meminta Mualem membentuk tim khusus untuk mengelola tambang rakyat dengan melibatkan unsur sipil dan masyarakat adat. Hal ini, menurut Hasbar, penting agar konflik antara warga dan perusahaan tambang tidak semakin meluas.
Ia memperingatkan, jangan sampai kekhususan Aceh yang diatur UUPA bernasib sama seperti dana otonomi khusus (Otsus) yang gagal mensejahterakan rakyat meski telah menelan ratusan triliun rupiah.
“Rakyat Aceh tidak minta belas kasihan. Mereka hanya ingin diberi ruang yang sah dan legal untuk mengelola tanah dan sumber dayanya sendiri. Jangan sampai, Mualem yang dulu jadi simbol perjuangan Aceh, hari ini justru diam ketika rakyat terinjak demi investasi yang belum tentu membawa berkah kepada rakyat,” pungkasnya.***
Editor: RedaksiReporter: Syaiful AB