Jakarta – Serangan udara Israel pada 13 Juni 2025 yang menewaskan sejumlah pemimpin militer Iran, disusul rentetan serangan balasan berupa drone peledak dari Teheran, memicu eskalasi serius di Timur Tengah. Hal ini bisa memicu badai ekonomi di dunia.
Ekonomi dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai konflik ini bisa menjalar menjadi perang regional bahkan global, dengan dampak besar bagi stabilitas ekonomi dunia.
Salah satu gejala awal dari guncangan ini terlihat dari lonjakan harga minyak mentah dunia. Harga Brent naik 5 persen, sementara kontrak berjangka sempat meroket lebih dari 13 persen. Minyak mentah WTI pun naik di atas USD 73 per barel, atau lebih dari 6 persen dalam sehari.
“Pada 13 Juni 2025, tak lama setelah eskalasi konflik, harga minyak mentah jenis Brent, yang menjadi standar internasional, melonjak 5 persen, bahkan kontrak berjangka minyak sempat melonjak lebih dari 13 persen,” kata Achmad, Rabu (18/6/2025).
Selat Hormuz Diancam
Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran akan gangguan pasokan dari kawasan Teluk, khususnya di Selat Hormuz jalur vital yang dilalui 20% pasokan minyak dunia.
“Lonjakan ini adalah respons langsung terhadap kekhawatiran akan gangguan pasokan di Timur Tengah,” ujarnya.
Harga Minyak Berpotensi Melambung Tinggi
Menurutnya, jika konflik yang meluas maka akan mendorong harga minyak akan melambung tinggi, mencapai level yang belum pernah kita saksikan sebelumnya.
“Kenaikan harga minyak ini bukan sekadar angka di papan perdagangan,” imbuhnya.
Konflik yang berkepanjangan dan meluas juga akan berdampak terhadap kenaikan biaya produksi bagi hampir semua industri, kenaikan biaya transportasi, dan pada akhirnya, kenaikan harga barang dan jasa yang akan memukul daya beli masyarakat.
Editor: RedaksiSumber: https://liputan6.com