JAKARTA — Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) Provinsi DKI Jakarta mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap modus kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang semakin marak terjadi melalui media sosial. Para pelaku memanfaatkan kelemahan emosional korban, terutama yang memiliki hubungan renggang dengan keluarga, untuk memulai aksi mereka.
Tenaga Ahli Pemenuhan Hak Korban PPPA Provinsi DKI Jakarta, Wulansari, menjelaskan bahwa pelaku TPPO kerap mengincar korban melalui platform pertemanan online.
“Biasanya korban TPPO yang ditangani oleh kami tipikal yang diajak pelaku melalui pertemanan media sosial,” ujar Wulansari di Jakarta, Kamis.
Korban yang merasa kesepian atau tidak mendapat perhatian dari lingkungan terdekat cenderung mencurahkan isi hatinya di media sosial. Celah ini dimanfaatkan pelaku untuk masuk dengan pendekatan emosional, berpura-pura menjadi pendengar yang peduli, bahkan menjalin hubungan asmara.
Setelah mendapatkan kepercayaan korban, pelaku mengajak korban tinggal bersama. Di titik ini, mereka mulai mengeksploitasi korban dengan dalih kebutuhan ekonomi. Korban dipaksa melakukan “open BO” atau prostitusi online sebagai bentuk solusi atas masalah keuangan yang sebenarnya direkayasa oleh pelaku.
“Ternyata punya masalah ekonomi dan disuruh ‘open BO’ (booking online/layanan prostitusi daring),” kata Wulansari.
Tak hanya menggunakan pendekatan romantis, pelaku juga mempraktikkan modus utang budi. Mereka menawarkan bantuan berupa pinjaman uang atau tempat tinggal kepada anak-anak yang tidak memiliki dukungan keluarga yang kuat.
“Ujung-ujungnya ada perekrutan di sana, ikut ‘casting’. Padahal itu adalah modus TPPO yang situasinya sangat eksploitatif,” tambah Wulansari.
Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan menjebak korban dengan janji pekerjaan. Mereka mengiming-imingi korban pekerjaan di restoran, tetapi ketika korban datang ke lokasi, kenyataannya justru sebaliknya. Korban disekap dan dipaksa melayani tamu di apartemen.
“Satu hari harus melayani 24, bahkan ada yang disuntik KB supaya tidak hamil atau diminta meminum obat agar tidak haid, supaya 30 hari itu bisa melayani dan situasinya tentu saja berdampak secara fisik, kesehatan bagi korban-korban,” ungkapnya.
Pelaku juga tak segan melibatkan teman korban dalam proses perekrutan. Mereka mengeksploitasi rasa percaya korban terhadap lingkungan sosialnya dengan menawarkan kesempatan yang tampak menguntungkan, tetapi justru menjadi perangkap.
Lebih jauh lagi, pelaku TPPO kerap menggunakan pemaksaan, ancaman kekerasan, hingga penyebaran foto pribadi atau pemberian obat bius untuk mengontrol korban. Biasanya, pelaku sudah memiliki kedekatan atau hubungan sebelumnya dengan korban, sehingga korban merasa kesulitan untuk menolak atau melawan.
Sepanjang lima tahun terakhir, kasus TPPO di Jakarta terus terjadi. Data PPPA DKI Jakarta mencatat sebanyak 125 kasus terjadi pada tahun 2020, meningkat tajam menjadi 273 kasus pada 2021. Namun, jumlah ini menurun menjadi 57 kasus pada 2022, kemudian merosot tajam menjadi 15 kasus pada 2023. Meski demikian, kasus kembali melonjak menjadi 87 pada 2024, dan hingga 10 Juni 2025 sudah tercatat 60 kasus.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa kejahatan perdagangan orang tetap menjadi ancaman nyata di ibu kota, terlebih dengan pesatnya penggunaan media sosial di kalangan anak muda.
Wulansari menegaskan pentingnya peran keluarga dalam mencegah kejahatan ini. Komunikasi yang terbuka dan relasi yang hangat di lingkungan keluarga dinilai mampu menekan risiko anak menjadi korban TPPO. [ANTARA]
Editor: RedaksiReporter: RedaksiSumber: https://www.antaranews.com/berita/4896193/begini-modus-pelaku-kejahatan-perdagangan-orang-ke-korban-di-jakarta