JAKARTA — Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, membela strategi diplomasi Presiden Prabowo Subianto dalam menghadapi kebijakan tarif impor sebesar 32 persen dari Amerika Serikat yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2025. Kebijakan yang diumumkan Presiden Donald Trump itu tetap dijalankan meski pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya diplomasi dan lobi untuk menurunkannya.
Menurut Eddy, Presiden Prabowo sejak awal sudah membaca bahwa kebijakan tarif tinggi tersebut merupakan bagian dari gelombang proteksionisme global yang digaungkan pemerintahan Trump, bukan cerminan hubungan bilateral Indonesia-AS secara keseluruhan.
“Karena itu strategi Presiden Prabowo menjadi relevan yakni dengan menghindari eskalasi, menjaga hubungan diplomatik, dan di sisi lainnya fokus pada penguatan struktur ekonomi dalam negeri,” ujar Eddy dalam keterangannya, Jumat (11/7/2025).
Politikus PAN yang juga doktor ilmu politik Universitas Indonesia ini menegaskan, pilihan Presiden Prabowo untuk tidak mengambil langkah reaktif atau balasan tarif (retaliatory) sudah tepat. Menurutnya, tindakan balasan justru berpotensi memicu konflik dagang yang kontraproduktif.
“Langkah diplomasi Presiden Prabowo tetap pada koridor multilateralisme—menggalang dukungan dari negara-negara berkembang, memperkuat posisi di WTO, dan menjalin solidaritas dengan negara-negara BRICS dalam mewujudkan kebijakan ekonomi global yang lebih adil,” imbuh Eddy.
Di dalam negeri, lanjut Eddy, Presiden Prabowo juga telah mengambil langkah konkret untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional. Salah satunya melalui paket kebijakan deregulasi yang sudah dimulai dengan revisi Permendag No. 8 Tahun 2024, sehingga aturan impor lebih fleksibel dan tidak membebani pelaku usaha.
“Dalam sarasehan ekonomi dengan pelaku usaha bulan April lalu, Presiden Prabowo secara tegas sudah menginstruksikan jajaran kementerian untuk melakukan deregulasi sektor riil dengan menghapus berbagai hambatan administratif demi menciptakan ekosistem usaha yang kompetitif dan efisien,” jelas Eddy.
Ia menambahkan, Presiden Prabowo juga fokus pada diversifikasi pasar ekspor dan percepatan transformasi industri nasional. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar tertentu. Salah satu langkah penting yang diambil adalah bergabung dengan BRICS untuk memperluas akses ekspor ke negara-negara emerging market.
“Bergabung ke BRICS bukan hanya langkah diplomatis tapi lebih dari itu merupakan upaya Presiden Prabowo memperluas pasar ekspor Indonesia. Faktanya, proporsi ekonomi negara-negara BRICS meningkat signifikan dari 17 persen pada 1995 menjadi lebih dari 30 persen pada 2022,” ungkap Eddy.
Ia juga memaparkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia berhasil membuka akses pasar baru ke kawasan Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. “Ini langkah konkret yang menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi kita tidak berpangku tangan pada satu kekuatan saja,” tambahnya.
Eddy optimistis Indonesia masih memiliki peluang untuk memperkuat negosiasi dengan AS sebelum kebijakan tarif tersebut berlaku pada 1 Agustus 2025. “Sebagai pimpinan MPR kami mendukung langkah diplomasi Presiden Prabowo yang masih terus berupaya memanfaatkan window of opportunity untuk pendekatan dengan pihak AS,” ujarnya.
“Kami di MPR siap memberikan ide, gagasan, dan masukan demi mendukung diplomasi kita dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional,” pungkas anggota Komisi XII DPR RI tersebut.***
Editor: RedaksiReporter: Redaksi