Empat pulau di Aceh Singkil—Banyak, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil—yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari Tanah Rencong tercatat dalam peta kolonial Hermann von Rosenberg tahun 1853. Namun tiba-tiba, Mendagri Tito Karnavian menetapkannya masuk Sumatera Utara. Ini bukan soal batas administratif. Ini penghinaan terhadap identitas, sejarah, dan kehormatan rakyat Aceh.
Aceh bukan provinsi biasa. Kami pernah menyumbang emas dan doa untuk Republik, tapi kami dibalas dengan darah dan penderitaan. Kini, dengan manuver ini, ada pesan langsung dari pusat: Aceh tidak aman, Aceh selalu bisa dibuat gaduh—bahkan di era pemerintahan Prabowo, yang justru didukung kuat oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf. Mudah dicek: Aceh adalah salah satu basis dukungan kuat Prabowo, dan Muzakir adalah sekutunya. Namun, keputusan ini justru menciptakan retakan yang tajam, seolah menuding bahwa Prabowo gagal menjaga Aceh—dipastikan pasokan citra itu didampingi narasi “kondisi tidak aman”.
Akankah ini hanya kebijakan bodoh? Atau agenda terencana dari elite lama—yang melalui tangan Tito, generasi intelijen yang tahu cara mencipta teladan konflik kecil menjadi alasan untuk intervensi militer?
Luka yang Tak Terhapus
Aceh punya sejarah panjang yang penuh darah dan air mata—zagresif, tapi bukan kali ini saja. Sejak era pemberontakan DI/TII (1953–1962), Daud Beureueh diganyang karena menuntut janjinya otonomi pasca-kemerdekaan. Itu awal luka sejarah.
Kemudian masa DOM (1990–1998). Human Rights Watch menyebutnya “dirty war”, dengan 9.000–12.000 korban jiwa, termasuk warga sipil, serta penghilangan paksa, pemerkosaan, dan hukuman mati di luar proses hukum . Asia–Pacific Solidarity Network menyebutkan 871 korban tewas, 387 hilang, dan ratusan penyiksaan dalam tiga tahun awal DOM .
Dalam situasi itu, bahkan memenuhi meriam saat Hari Kemerdekaan bisa berarti risiko kematian. Hari tua di desa menjadi siksaan—anak-anak kehilangan masa depan, keluarga tercerai karena trauma. Itu Aceh.
Tragedi Simpang KKA, 3 Mei 1999: 52 warga sipil damai ditembak dead-on, seperti eksekusi massal . Lalu Darurat Militer 2003–2004: Amnesty dan KontraS mencatat ribuan penghilangan, 147 tewas, desa dibakar, paksa KTP merah-putih, dan pengusiran sistematis .
Aceh pun tidak luput dari kekerasan perusahaan di ladang gas Arun. ExxonMobil dikecam karena menggunakan militer untuk melindungi aset—menurut laporan 2001, membakar desa, memaksa warga, bahkan melecehkan perempuan . Kasus ini selesai dalam tuntutan hukum internasional, bukan keadilan lokal.
Setelah tsunami 2004, MoU Helsinki memberi harapan. Tapi eksekusi kesepakatan lambat, relasi pusat–Aceh tetap timpang. Empat pulau ini jadi indikator apakah janji berubah jadi kenyataan, atau justru tetesan penghinaan tua yang dipoles ulang.
Ada Agenda di Balik?
Tito Karnavian bukan politisi biasa. Ia mantan Kapolri dan kepala anti-teror, yang sangat ahli menggunakan intelijen untuk membentuk opini.
Sebelumnya, ia menciptakan “citra terorisme” dan “radikalisme” atas nama keamanan nasional. Kini, ia membuat narasi baru: “Aceh tidak aman”. Cukup sedikit gesekan—isu pulau disentil, stagnasi publik, rakyat resah—maka pandemi narasi “Aceh bawah pengaruh ekstrem” bisa meluncur viral. Reaksi keras rakyat Aceh akan mudah dikategorikan sebagai “ancaman keamanan”.
Secara psikologis, ia melempar bara ke bahan bakar yang mengering. Aceh sudah menderita lalu ditenangkan dengan senyuman diplomasi—sekarang, luka lama dibuka lagi. Dan bila ujungnya adu domba, bukan seumpama, tapi kenyataan, maka status UNECE (negeri damai) akan dipertanyakan. Ini teknik yang biasa digunakan dalam operasi intelijen: ciptakan masalah, lalu kemudian tangani—dengan dalih “keamanan”.
Secara pers dan birokrasi, penanganan isu ini dilekatkan pada nama Tito: “Menteri dalam Negeri menuntaskan konflik Aceh”. Padahal, yang terjadi adalah misi stabilisasi politik—untuk membayangi popularitas Prabowo di daerah. Tito ingin narasi dikendalikan, bukan Pro-Aceh. Pola lama yang dipakai untuk membendung aspirasi rakyat.
Reaksi yang Wajar Tapi Terarah
Reaksi emosional adalah kemanusiaan, tapi jika disulut, bisa dipakai sebagai alasan bagi aparat masuk meredam—memicu lagi potensi kekerasan. Aceh tahu ini. Kita bukan perusuh. Kita bangsa yang pernah menyelamatkan republik ini lewat sumbangan uang, doa, dan perjuangan.
Maksud saya: Aceh harus menjawab ini dengan cerdas—bukan amarah, bukan senjata. Tapi lewat hukum, diplomasi politik, dan peta sejarah:
1. Gugat secara hukum: Cabut Permendagri No. 100.1.1.1-6117/2023 melalui Mahkamah Konstitusi dan MA—karena membangkang terhadap batas historis Aceh.
2. Ungkap fakta sejarah: Gambar ulang peta von Rosenberg, sertakan publikasi akademik tentang DSP (Distrik Singkel).
3. Suara politik koalisi Aceh: Bentuk “fraksi Aceh” di DPR/MPR, dukungan Prabowo, dan penyebaran data historis di media nasional.
Ini bukan soal emosi, tapi legitimasi. Bila Aceh bisa menjaga marwahnya lewat jalur hukum dan politik, pesan pusat dapat dijawab dengan pikiran, bukan teriakan. Menteri atau presiden bisa membiarkan Aceh terus berbicara—bukan membungkam.
Kita Tidak Ingin Luka Terulang
Aceh pernah merdeka. Aceh pernah berdikari. Kita pernah jadi penyelamat republik. Kita pernah jadi tempat berlindung ketika ibu kota terancam.
Hari ini Aceh kembali dikhianati—sekali lagi. Dengan skenario licik yang diarahkan lewat tangan Tito, seolah untuk membayangi pemerintahan Prabowo dan menegaskan narasi bahwa hanya pusat (melalui menteri loyal) yang bisa jaga stabilitas. Itu tidak cukup. Tidak adil. Tidak pantas.
Kami tidak ingin senjata. Kami tidak ingin perang. Tapi kami ingin sebuah kepastian—bahwa Aceh dihormati sebagai sahabat bangsa. Bahwa masa lalu sudah selesai, dan janji golden-era damai benar ditepati.
Bila ini tidak dihentikan, Aceh tidak akan diam. Karena kesabaran bukan berarti pembiaran. Luka bisa ditutup, tapi jika dibuka dengan cara licik, ia bisa meledak lagi. (*)
Editor: Redaksi