Aceh Barat – Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Barat menggelar Seminar Menyelaraskan Adat Mahar (Jeulame) dengan Syariat Islam sekaligus Rapat Kerja MAA Tahun 2025 di Aula T. Umar Bappeda, Senin (10/11/2025).
Wakil Bupati Aceh Barat, Said Fadheil, SH, mengatakan kegiatan ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali makna mahar dalam perkawinan Aceh, yang sejatinya merupakan simbol ketulusan dan penghormatan, bukan tolak ukur status atau gengsi sosial.
Said menyampaikan bahwa dalam praktik hari ini, mahar atau jeulame kerap bergeser makna dari nilai sakral menjadi ajang pamer kemampuan finansial, bahkan tidak jarang menjadi beban bagi calon mempelai pria.
“Mahar bukan alat ukur kekayaan, tetapi lambang keikhlasan dan penghormatan. Sudah saatnya kita luruskan kembali sesuai ajaran Islam dan nilai adat yang luhur,” tegasnya.
Dalam seminar tersebut juga ditekankan bahwa adat dan syariat di Aceh tidak boleh dipisahkan, sebagaimana falsafah Aceh yang tersohor:
“Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut” — hukum dan adat ibarat zat dan sifat, tidak dapat dipisahkan, tutur Said.
Menurutnya, adat Aceh yang hakiki lahir dari nilai-nilai Islam. Karena itu, sinkronisasi keduanya adalah keniscayaan, bukan pilihan.
Selain sebagai penjaga tradisi, Said menegaskan peran MAA sebagai pembina dan penuntun masyarakat dalam menjaga adat agar tetap relevan, bermarwah, dan sejalan dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan syariat.
Ia juga menyampaikan komitmen penuh pemerintah daerah dalam mendukung program MAA, baik dalam pembinaan adat, edukasi masyarakat, maupun pelestarian budaya Aceh yang bernafaskan Islam.
“Kita tidak hanya mewariskan adat pada generasi muda, tetapi juga memastikan mereka memahami dan mempraktikkannya dengan benar,” ujarnya.
Alhasil, dengan sinergi antara ulama, tokoh adat, dan pemerintah, Aceh Barat optimistis dapat menjadi contoh daerah yang berhasil menjaga keseimbangan antara adat, syariat, dan dinamika sosial masa kini.***
Editor: RedaksiReporter: Redaksi












